Nama Fakfak memang masih sangat asing dan kurang akrab bagi banyak orang. Jika dilihat dari peta Pulau Papua, posisi Kabupaten Fakfak berada tepat di kawasan Kepala Burung Papua, bagian selatan Provinsi Papua Barat. Kabupaten Fakfak berdekatan dengan beberapa kabupaten seperti Kabupaten Kaimana, Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Sorong. Namun sebenarnya nama Kabupaten sekaligus Kota Fakfak berada di Provinsi Papua Barat bahkan termasuk Kota paling tua di Papua yang memiliki suku-suku dan adat istiadat yang dipertahankan.
Kabupaten Fakfak sendiri dikenal dengan sebutan atau julukan Kota Pala karena wilayah ini terkenal sebagai penghasil buah pala merupakan komoditas utama yang dijual dari daerah ini. Masyarakat Kabupaten Fakfak memiliki semboyan "SATU TUNGKU TIGA BATU" yang mencerminkan bahwa masyarakat Kabupaten ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Satu tungku tiga batu mengandung arti 'tiga posisi penting' dalam keberagaman dan kekerabatan etnis di Fakfak. Satu tungku tiga batu artinya tungku tersusun atas tiga batu berukuran sama. Bahwa ketiga batu itu dilambangkan sebagai tiga agama yang sama kuat dan menjadi kesatuan yang seimbang untuk menopang kehidupan dalam keluarga.
Kabupaten Fakfak salah satu Kabupaten yang menyimpan begitu banyak potensi keindahan alam dan budaya serta sejarah di Tanah Papua. Tidak hanya itu saja potensi budaya dan sejarah yang di miliki Kabupaten Fakfak pun sangat beragam dan begitu menarik. Ada banyak tempat menarik yang ditawarkan Kabupaten Fakfak. Salah satunya tempat peninggalan sejarah perang hongi (perang suku) terkait tulang belulang dan kerangka tengkorak. Tulang belulang dan kerangka tengkorak tersebut terletak di Tebing karang yang curam di Kepulauan Arguni, Fakfak Papua Barat. Kepulauan Arguni adalah salah satu Pulau Indah di Kabupaten Fakfak.
Waktu tempuh yang dibutuhkan dari pusat Kota Fakfak menuju Distrik Kokas kurang lebih sekitar 1,5jam-2jam menggunakan Transportasi darat seperti mobil ataupun motor. Kemudian perjalanan dilanjutkan dari Distrik Kokas menuju Kepulauan Arguni dimana tempat tulang belulang dan tengkorak tersebut berada. Waktu tempuh yang dibutuhkan sekitar kurang lebih 45menit-60menit menggunakan Transportasi laut seperti perahu (long boat atau speed boat).
Kerangka tengkorak dan tulang belulang ini dipercaya merupakan kerangka leluhur atau nenek moyang masyarakat setempat. Pada Zaman dahulu masyarakat memiliki kebiasaan meletakkan jasad leluhur yang meninggal ditebing batu, gua, tanjung ataupun di bawah pohon besar yang dianggap sakral. Tak hanya itu saja ternyata ada sejarah atau cerita tersendiri terkait dengan tulang belulang dan kerangka tengkorak.
Bapak Haji Husein Saiyof tetua di Kepulauan Arguni Fakfak, Papua Barat mengatakan sekitar ratusan tahun yang lalu, tebing tersebut merupakan wilayah tanjung pasir putih yang banyak dihuni oleh masyarakat setempat dan rumah-rumah didirikan di tepi pantai hingga ke teluk.
Namun saat itu terjadilah hongi-hongi atau disebut dengan perang suku. Saat lelaki dewasa kampung sedang keluar, datanglah pasukan yang menyerbu dari kampung sebelah. Pada akhirnya semua penghuni kampung yang terdiri dari perempuan dewasa dan anak-anak tersebut tewas dibantai. Saat itu ada beberapa yang menyelamatkan diri dan memberitahu kepada para suami yang sedang di luar kampung tersebut. Tapi sayangnya semua sudah terlambat. Istri dan anak-anak mereka tewas dan mayatnya diletakkan begitu saja di bagian tebing-tebing. Kebanyakan kerangka tengkorak dan tulang belulang di Kepulauan Arguni adalah perempuan dewasa dan anak-anak. Selain tulang belulang dan kerangka tengkorak ada juga serpihan perahu yang menjadi peninggalan sejarah perang hongi. Perahu tersebut digunakan sebagai alat transportasi saat perang hongi terjadi.
Ketika Belanda datang, mereka menyarankan agar kerangka tengkorak dan tulang belulang yang ada di tebing dikuburkan secara layak. Namun, Masyarakat setempat menolak karena masih mengikuti pesan atau tradisi dari pendahulu mereka yaitu melarang menyentuh dan mengubah struktur tulang-tulang tersebut. Sampai saat ini tulang belulang dan kerangka tengkorak bisa dijumpai pada tebing tebing curam Kepulauan Arguni. Tulang belulang dan kerangka tengkorak tersebut sangat banyak awalnya. Karena kurang pengawasan ada beberapa warga asing yang datang mengambilnya untuk dijadikan penelitian. Jadi tulang belulang dan kerangka tengkorak tersebut hanya tersisa beberapa.
Jika ingin melihat secara lebih jelas. Mungkin bisa dengan memanjat ke tebing. Tetapi tidak untuk merusak atau tidak untuk mengambil bahkan tidak untuk memindahkan tulang belulang dan kerangka tengkorak. Sebelum melakukan memanjat ke tebing sebaiknya meminta izin terlebih dahulu kepada tetua kampung setempat. Untuk memanjat ke tebing tersebut tidaklah mudah karena aura mistis masih terasa. Saya membuktikannya secara langsung untuk panjat karena rasa penasaran saya. Akhirnya saya merasakan aura mistis terjadi. Sebelum masuk terasa merinding bulu kuduk, serasa ada yang mengawasi dan banyak orang berbicara di telinga saya. Padahal yang berada di tempat tersebut hanya saya sendiri. Mungkin dengan kehadiran saya, mereka merasa terusik karena kami beda alam. Walaupun saya tidak melihat mereka tetapi mereka bisa melihat saya. Saya pun berbicara bicara di tempat tersebut dengan bahasa saya sendiri dan meminta maaf dan meminta izin permisi hanya untuk melihat dan memfoto saja. Setelah saya turun dari tebing sebelum meninggalkan tempat tersebut. Saya pun langsung bercerita kepada Bapak Haji Husein Saiyof selaku tetua Kepulauan Arguni kejadian yang saya alami saat memanjat dan berada di tebing. Akhirnya beliau berbicara dengan bahasa adat untuk menjelaskan kedatangan dan meminta izin.
Inilah salah satu cerita dan aset peninggalan sejarah yang dapat kita saksikan hingga saat ini. Jangan lah merusaknya. Marilah menjaga dan melestarikan peninggalan sejarah agar anak cucu mengetahui kejadian tersebut dan bisa mengambil hikmah pengalaman dari masa lalu.
NARASUMBER : Bapak Haji Husein Saiyof selaku Tetua di Kepulauan Arguni.